Pages

Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2019

Kisah Selembar Babak
Oleh BPS

Ratusan dua puluh empat jam telah berlalu tanpa cerita lagi
Kisah itu terhenti di tanggal 30 Oktober 2016
Hanya 3 tahun saja
Kisah cinta itu pupus dan kandas ditelan malam
Terenggut tanpa bahasa yang bisa kupahami
Hanya mata yang nanar menahan tanya: mengapa?

Kau terkapar dalam bisu
Terbujur kaku tak berdaya
Tak sanggup lagi tebar senyum
Tak sanggup lagi menatap mereka yang datang mengerubung
Menebar tanya: ada apa gerangan?
Tak ada jawaban, cukup air matamu yang mengoyak itu tanya

Kisah itu hanya semu
Hadir untuk menikam kalbuku yang sepi
Hanya menambah luka yang kian parah
Kini aku tahu, cinta itu adalah luka
Luka yang siap meneteskan darah
Darah kepedihan yang mengalir tanpa henti

Kisah itu hanya selembar babak tanpa ujung
Yang terbingkai pada lembaran foto yang terpajang di ruang tamu
Yang terhenti pada bangsal rumah sakit
Yang sisakan luka dan airmata yang tiada henti mengalir
Meski tak tampak, tapi hati tetap meronta

Tuhan, ku tahu rencanamu indah pada waktunya
Meski tampak tak seelok pandangan mataku
Meski tampak tak seturut yang kukehendaki
Kucoba tuk menari mengikuti pusaran badai-Mu
Menikmati seluruh cinta yang masih tersisa
Meski sulit tuk kembali
Mengenang bahasa cinta yang terlanjur melekat
Dalam batin yang mengerang

Di ujung sana, sesal selalu hadir menggoda iman
Mengajak sukma untuk berkhinat
Tapi kutahu, imanku tak seharga mata uang
Imanku adalah batu karang yang tak terhempas ombak
Ku akan menari dalam badai cinta ini.




Ribuan Kali Mencinta
Oleh Belfin Paian Siahaan

Wahai kekasihku,
Bukan daku ingin berpaling
Atau beranjak pergi tanpa kabar
Bukan juga daku ingin berlari tanpa kembali
Sebab kutahu pintu itu akan selalu ada dan terbuka

Wahai kekasih,
Bukan daku ingin menyerah
Dari pertemuan yang terlanjur pisah
Tapi daku ingin bahagia dalam pasrah
Meski tak selalu bersama dalam serumah

Wahai kekasihku,
Cukup sudah hatiku bermuram durja
Dari keyakinan tuk membuatmu bahagia
Tapi ada daya, bukan kuasaku tuk menahan asa
Sebab ada kuasa yang menolakku memberi rasa

Kau tidak akan pernah tahu,
Betapa hati ini pilu dan tersiksa
Tiap kali aku mencinta,
Ribuan kali siksa mencerca
Tiap kali aku menaruh sayang,
Ribuan kali aku dirundung malang
Tiap kali aku percaya,
Ribuan kali itu niscaya,
Tiap kali aku bangkit yakin,
Semuanya jadi tak mungkin.

Wahai kekasihku,
Mungkin ku akan bahagia tanpa kembali
Kau kan bahagia meski tanpaku

Rindu Empat Musim
Oleh Belfin Paian Siahaan

Empat musim berlari perlahan
Selalu kau menunggu di muka pintu usai maghrib
Berharap ia datang memanggil, sayup sayup dari mulut gang itu
Empat musim berlalu…
Kau selalu simpan rindumu pada dinding rumah
Pada kasur tua yang sudah usang
Dan pada makanan yang selalu sisa
Menjadi basi dan terbuang
Tak ada hari raya selama empat musim itu.
Hanya tradisi yang kian pudar.
Sepi merundung
Dan malam itu terlewatkan tanpa tawa dan senyum

Dua musim yang lalu,
Bahasamu lembut meminta
“Pulangkah kau, Nak?”
Enggan hatimu memaksa. Kau tak ingin tampak memohon
Kau simpan rindumu di balik bahasamu
Enggan kau sampaikan niatmu tuk rindu bertemu

Empat musim sudah berlalu,
Asamu tak lagi sama seperti dulu
Kuasamu tak lagi kuat seperti dulu
Kau hanya seorang Bapa yang lemah mengalunkan nada-nada rindu
Kau simpan rindumu lagi pada doa yang teriring syahdu
Berharap Tuhan memberimu nafas tuk bersabar pada rindu
Satu musim lagi saja, Tuhan!
Izinkan aku menunggu di muka pintu
Tuk menunggu anakku pulang ke pelukanku.
Perempuan yang Membisu
 Oleh Belfin Paian Siahaan

Jari jemari kian membisu
Lesu
Enggan menari dan menyanyi merdu
Seperti dulu…

Banyak kisah yang tertuang dalam melodi
Hitam putih
Seumpama siang dan malam
Babak cerita yang tiada habis episodenya
Seiring waktu mengajak berjalan menapaki surya dan bulan
Di antero bumi yang gemerlap suka dan duka

Kau kini hanya diam duduk termangu
Menghitung jemarimu yang masih utuh kaku
Tak ada lagi kisah yang tertulis dalam buku
Apalagi kenangan yang diam membisu

Kau selalu ingat pada nyanyian itu
Melodi yang tercipta dengan merdu
Saat kalbu meronta memanggil satu per satu
Untaian nada yang melintas sendu

Ah, memang dunia bukan milikmu saja
Kau hanya insan penyewanya
Siapkah kau membayar harga untuknya?
Kembali pada pusaran takdir yang tlah nyata

Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali
Tak mungkin sesal silih berganti memanggil
Ah, seandainya saja waktu milikmu
Kau tak akan takut menari dan menyanyi lagi.

2019, Tengah hari dalam ruang senyap, sehabis lebaran, pukul 12.06

Senin, 28 Maret 2011

Kemuning di Gubuk Senja

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat
terbang melayang melampui masa
seperti janjiku padamu kemuning...
Sinar yang terpancar dari balik pegunungan itu 
membawa alunan senja yang membahana
kabarkan suka dan dukaku pada mega kelabu
yang tersipu malu pada temaram yang membenamkan diri

ku tak pernah berharap bisa menemukanmu kemuning
meski di gubuk senja itu kau selalu tampakkan wajah
walau aku tahu, kau masih saja bersembunyi dengan keraguanmu 
tentang adanya cinta yang kusembunyikan darimu

sungguh nian aku tak pernah menaruh asa pada bilur keajaibanmu
menyihirku dengan satu tatapan mata, sekulum senyum, dan seberkas sinar di wajahmu
kutak pernah bermimpi kalahkan surya
meskipun langit selalu merona dan membakar tubuhku
aku tahu kau di situ kemuning, malu tampakkan raut mukamu yang memerah
seperti buah berry tatkala mentari membakarnya

Kau mengintip-intip kehadiranku dan berlari setelah aku diam di sana
Kemuning...kemuning, sungguhkah aku ada di gubuk senja itu?
menanti kata dan rupa yang selalu kupuja
 serahkan asa yang selalu berasa
seperti alunan musik yang membahana di angkasa
kau jeritkan kebisuanmu pada dinding keras yang tak menjawab sapaanmu 
hanya sekuntum bunga di antara duri

Kemuning di gubuk senja, akankah aku ada di sana menungguku?

Minggu, 27 Maret 2011

Puisi Negeri Para Bedebah

Karya:Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Kamis, 09 Desember 2010

Bingkai Pudar

Perlahan bingkai cahaya itu memudar
Memaksa angin dan sunyi memeluknya,
Menggenggam rohnya dalam bilur-bilur keniscayaan
Tuk dibawa satu dalam pertemuan
Yang memang tak akan pernah ada

Awalnya memang sempurna,
Kita bersua dalam keindahan rupa dan warna
Kau satukan senyum dan rasa menjadi cinta
Biarkan sayang menjadi asa, seperti harapan
Menyembur dalam palung-palung kesucian
Tak akan pernah hilang
Meski tak ada aral melintang

Tapi, waktu memang tak jua bersendawa
Ia tawarkan keindahan dalam bingkai pudar
Tak kuat terbawa arus angin
Terlempar dalam badai semalam
Remukkan semua cinta yang tersisa
Dan hari ini, kita melayang, seolah tak mengenal
Berpaling tanpa kata, dan tangisan menutup segala kesedihan
Dan hati remuk kini tak berdaya
Sesalkan semua yang tlah terjadi.

Tak mungkin….
Tak mungkin…
Dan semua tak mungkin….

Kini yang mungkin hanya perpisahan
Selamanya kawan.
Ya, selamanya….

Senin, 06 Desember 2010

Berlalu...

*untuk sahabat kecilku, yang dulu pernah kukenal dan kusayangi

Jalan-jalan yang kulalui, masih sama seperti kemarin
Langit yang kupandangi hari ini, masih sama seperti kemarin
Angin yang berhembus mengelus tubuhku, masih mendesir seperti kemarin
Dan sepi yang kulalui sepanjang hari ini, masih sama seperti kemarin, bisu.

Tapi,
Detak jantung ini kini berbeda, tak sama seperti kemarin
Darah yang mengalir di tubuh ini, kini tak lagi bernyawa
Semuanya sudah berbeda
Sepi itu makin menggila, bisu itu makin meraja
Ku tak merasakan denyutmu lagi dalam dadaku
Ku tak dengar lagi suaramu terngiang dalam pikiranku
Ku tak temukan lagi wajahmu
Ku tak temukan lagi,
Tak kutemukan lagi,

Perih, saat air matamu mengalir
Perlahan di setiap ujung-ujung keindahanmu
Menetes, mengalir,
Seolah menusuk hatiku bertubi-tubi
Kau diam saja tanpa kata
Saat terakhir kau katakan kau tak lagi mengenalku

Aku memang terlalu berlebihan
Menggadaikan sayangku dengan percuma
Tuk kau tolak dengan sengaja
Dan kuakui ku salah mengartikannya

Selamat tinggal sahabatku,
Ku tak akan mengingatmu lagi
Dalam gambar, rupa, maupun tawa
Kau telah lenyap dalam bayangan semu
Yang tak mau lagi kujamah

Selamat tinggal selamanya. 

Batch 15

Bacth 15, Widya Mandala 2010 with Prof. Sadtono

Kata Ibuku, semua rupa berasal dari kata
Terjalin dalam ukiran wujud huruf-huruf imaji

Kata Ayahku, semua kisah berasal dari bahasa
Terangkai dalam keindahan tutur dan perangai

Kataku, sahabat datang dari pelangi
Terhias dalam perbedaan rupa dan bahasa
Menyatu dalam satu  atap langit
Membentang indah dalam bias cahaya Tuhan

Setelah hujan, membumbung tinggi
Hadirkan panorama kesejukan, cerah berwarna dalam satu bingkai lukisan
Lukisan tentang aku, kau, dan sahabatku

Rumah baruku kini tersebut dalam angkatan 15
Dua puluh tiga insan penghuninya,  empat adam di antara hawa
Semuanya asing, tawarkan aroma keindahan yang bernama persahabatan

Namun, satu jejak langkah telah hilang terbawa angin
Sisakan satu kesedihan, sebuah perpisahan yang tak pernah ditawarkan
Oleh kebahagiaan yang harus merundung duka
Namun apa daya, nasib tak selalu bisa digenggam
Kita relakan waktu dan jarak membawa kita berkubang dalam kenangan
Tentang Sisil, perempuan yang selalu eksotis di dunianya
Dengan perangainya yang selalu membuat sebuah perbedaan menjadi indah

Kini, keluarga ini masih mendayung perahunya
Melewati semua bahasa dari setiap guru
Mematuhi perintah dan bahasanya yang tak selalu bisa dimengerti
Dan setiap kali kita kembali ke peraduan kita, kawan
Selalu ada beban di pundak yang masih menggunung
Kepala yang penuh dengan bimbang
Peluh yang tak kunjung berhenti di setiap malam
Dan lelah yang tak mau berhenti menyerang

Ah…meski hujan dan badai menjelma menjadi lawan
Kita selalu hadirkan tawa dan ceria
Membuncah saat kepenatan dan jenuh seolah tak berkawan dengan waktu
Bayangkan kawan, tiga jam tanpa kreasi
Menatap layar putih yang penuh dengan tulisan hitam
Sama sekali tak bermakna, hanya siarkan bimbang dan jenuh
Dan kantuk menjadi malaikat penabur tidur
Yang menunggu mata terkatup dan akhirnya tertutup….

Namun, ada satu malaikat di keluarga ini
Tak pernah berhenti memberi sabda
Sebarkan peneguhan dan kata-kata bijak
Setiap kali kita jatuh dan terpuruk oleh beban di pundak

Ahh….terkadang kabut tebal di depan sana sudah siap menunggu
Senyumnya sinis dan pahit
Tubuhnya menjulang tinggi, menghadang laju perjalanan kita
Mempertanyakan kekuatan kita.

Akankah kita sanggup bertahan melampaui petir, gelombang, dan badai angin itu?
Mungkinkah kita sanggup mengalahkan keangkuhannya, meruntuhkan iman keegoisannya?

Jawab kawan!
Mungkinkah?