Pages

Sabtu, 15 Juni 2019

Pulang
Kisah di tahun kenangan
Oleh Belfin Paian Siahaan

Burung besi yang dinamakan pesawat itu meluncur dengan sempurna di landasan bandara. Mulus. Tepat waktu.  Seperti yang sudah kuduga. Akhirnya aku kembali lagi ke kota ini, Jakarta. Ya, kota pelarianku selama kurang lebih 50 tahun. Tempat penantian yang sempurna yang tak pernah kutemukan dari kota-kota lain. Kuinjakkan kaki di lantai dingin bandara sesaat sebelum kuputuskan untuk naik taksi ke rumah.  Aroma kenikmatan dan jejak-jejak pelarianku sekelebat muncul dalam pikiran. Mataku mulai basah.
“Sudah sampai, on time.” Begitu SMS yang kukirimkan pada anakku yang berada di kota lain. Tak begitu banyak bahasa yang kugunakan akhir-akhir ini. Sudah lebih dari setahun aku membungkam. Bukan karena aku tidak mau, tapi apa daya, tubuh ini enggan untuk menjadi lebih kuat dari yang kuinginkan.
Taksi membawaku kembali ke rumah.  Pintu rumah kubuka. Aroma nostalgia selama 50 tahun itu kembali berpendar. Inilah tempat persembunyianku. Rumah yang membawaku pada kebahagiaan yang selama ini sulit kudapatkan. Seluruh peluh dan asaku kusimpan di rumah ini. Aroma wangi rumah ini yang membuatku nyaman. Tentu, kau tidak akan pernah tahu rasanya.
“Sudah sampai di rumah, Ma?” sebuah SMS mendarat di telepon genggamku saat aku membukanya. Tak ada niat untuk membalas. Lama. Akhirnya suamiku yang mengabari bahwa kami sudah tiba di rumah.
Kurebahkan tubuhku di kasur lusuh yang setia menemaniku setahun belakangan ini. Kuusap sprei yang menebarkan aroma debu yang melekat lama dalam kasur. Bersamaan dengan aroma itu, kudapati aroma tubuhku yang masih melekat dalam selimut dan bantal. Aku merasa masih hidup. Lega. Kuputuskan untuk tidur dan melupakan peristiwa beberapa hari yang lalu.
Beberapa jam kemudian aku terbangun. Lampu temaram di kamar ini sedikit membuatku rabun. Mata tua ini makin lama tidak begitu membantu. Aku tidak mau menggunakan kaca mata. Tak segala hal selalu bergantung pada benda lain. Itulah salah satu bahan pertengkaran antara aku, suamiku, dan anak-anakku. Katanya, aku keras kepala dan tidak sadar kalau sudah uzur. Aku tidak peduli. Tubuh ini harus ditaklukkan dengan sendirinya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suamiku terbaring di kasur lain tak jauh dari ranjangku. TV masih menyala. Rupanya ia tertidur. Tidurnya pulas sampai mendengkur. Kucoba untuk bangun dan duduk di tepi ranjang. Lagi-lagi, kusisir pandanganku ke seluruh isi ruangan. Rumah ini menyimpan banyak kenangan. Kini tinggal kami berdua. Sepi. Rumah ini kembali sepi, seperti di awal-awal pernikahan kami yang tak kunjung dikarunia anak selama empat tahun. Hanya seringai suaraku yang membuat rumah ini ramai. Aku terlalu sering memarahi dan menyalahkan dia. Setelah itu, kami diam dalam bisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Suamiku? Ah, aku merasa kasihan padanya. Perbuatanku padanya tak pantas dilakukan. Aku terlalu jahat padanya. Kupandangi wajahnya yang sudah keriput. Ubannya hampir menyisir seluruh rambutnya. Aku makin sadar, kami sudah tua.
“Kita harus sabar.” Ia selalu mengatakan itu. Aku terkadang geli dengan kesabarannya yang sudah di luar batas. Seumur hidupku bersama dengan dia, tak sekalipun ia marah.  Itu yang seringkali membuatku menangis. Rumah ini telah menjadi saksi kekejamanku kepadanya.
“Tak segala hal biasa diatasi dengan emosi dan amarah. Justru itu yang akan membuatku kita  tidak bahagia. Sabar, sabar, dan sabar. Itu kuncinya”. Mungkin sudah ribuan kali ia mengatakannya kepadaku, kepada anak-anakku, bahkan kepada keluargaku. Hingga kini, aku baru memahaminya. Mungkin karena itu pula yang membuat aku gagal dalam setahun belakangan ini.
Masih kupandangi wajahnya yang terlelap dalam tidur. Kutemukan penyesalan yang sangat mendalam. Tanpa kusadari, air mataku telah leleh dan meluncur dari kedua sudut mataku. Suamiku yang setia ini masih terus berkorban untuk aku dan anak-anakku. Ia tak mengenal lelah, meski usianya jauh lebih tua dari aku. Bahkan, setahun ini ia memutuskan untuk tak melanjutkan kontrak pekerjaannya lagi, hanya untuk aku, mengurus diriku yang makin tak berdaya. Tubuh rentanya seolah tak bergeming di hadapanku. Tubuh itu makin kurus dan mengecil. Dulu, ia gagah perkasa. Menjadi Ayah yang setia di rumah. Meski seringkali tak sependapat dengannya, ia tak pernah mau ribut. Ia selalu mengalah, lagi-lagi demi aku dan anak-anak. Tapi kini baru kumengerti mengapa ia melakukannya. Ketika memikirkan semua itu, dadaku makin terasa sesak. Ingin rasanya berteriak. Tapi itu tidak mungkin. Biarlah semua kusimpan sendiri. Aku tak ingin menyusahkan orang lagi.
***
“Prang!” terdengar suara mengaduh. Aku terhenyak dari mimpiku. Rupanya, suara piring pecah terdengar dari ruang dapur. Mataku terbelalak, namun tubuhku tak mau merespon. Hanya mata ini yang bisa kuandalkan. Baru aku sadar kalau itu bukan yang pertama kalinya. Aku mencoba menahan diri. Itu pasti suamiku. Bukan dia namanya kalau tak bikin suara gaduh di dapur. Aku kini memakluminya. Tak mungkin lagi aku memarahinya, seperti dulu. Aku memanggilnya. Suaraku terdengar lirih. Ia menyahut. Tak lama kemudian ia muncul. Dengan senyum sumringah, ia mendekatiku.
“Sudah bangun? Aku sengaja tak membangunkanmu. Tidurmu nyenyak sekali,” katanya sambil duduk di tepi ranjang. Ia memegang tangan kananku. Aku tak merasakan apa-apa. “Saya baru saja masak sop brokoli,” wajahnya tampak riang sekali. “Aku siapkan dulu ya!” ia buru-buru ke dapur. Aku masih belum sanggup bangun. Rasanya tubuhku tak berdaya.
Dengan semangkuk sup yang masih hangat, ia membantuku bangun dari kasur. Ia siapkan air minum dan lap tangan. Semuanya sudah tersedia di meja makan. Meja makan ini biasanya aku yang menyiapkan dan menatanya. Kini, susunannya sedikit berubah. Ah, tidak apa-apa. Aku harus merelakan. Meski tak serapi dulu, itu sudah bagus.
“Enak, Ma?” tanyanya sambil menunggu. Aku menyeruput kuah supnya. Hmm…rasanya enak. Mungkin karena aku lapar. Aku mengangguk. Ia tampak senang. Ia menyuapiku lagi, dan lagi, hingga semangkuk sup ludes. Ia tampak lega. Segera dibereskannya semua yang terpakai di meja makan. Aku melarangnya”.
“Biarkan dulu,” kataku. “Papa makan dulu,” aku merasa kasihan padanya. Ia mengangguk dan buru-buru ke dapur. Di sampingku, ia makan sup yang sama. Ia tak menyadarinya kalau aku mengamatinya. Perasaan ini masih sama. Ia memang suami yang baik. Ia tak pernah meninggalkan aku meski aku tak berdaya lagi.
Sehabis mandi, ia menuntunku ke teras depan rumah. Sungguh aku sebenarnya tak mau. Tapi, ia bersikeras untuk mengajakku menikmati pemandangan pagi itu. Ah, pemandangan apa rupanya? Jakarta hanya menyuguhkan pemandangan yang membosankan dan membuat stress. Akhirnya aku mengalah. Di sana, kami menyaksikan pemandangan pagi yang bising. Jalanan ramai dan kendaraan banyak berlalu lalang. Aku tak menyukainya. Polusi dan debu beterbangan. Untung pagar rumah tinggi. Suamiku membacakan berita pagi itu. Disibakkannya lembaran koran di tangannya dan menunjukkannya kepadaku. Ah, mata ini mulai tak bisa diajak kompromi. Judul berita utama saja sudah tak bisa terbaca. Aku jengkel dengan diriku sendiri. Tak banyak yang bisa kulakukan. Suamiku bak pendongeng saja. Ia membacakan beberapa berita yang menurutnya menarik, padahal bagiku tidak begitu. Meski sudah hidup bertahun-tahun, ia tak mengerti juga kegemaranku. Ah, laki-laki memang sulit untuk perhatian. Tapi tidak apa-apa. Aku harus belajar bersabar seperti kata-katanya.
“Pa, kita ke dalam aja ya,” aku merasa bosan. Suasana Jakarta pagi itu tak membuatku nyaman. Aku hanya ingin merebahkan diri saja di kasur.
“Tak olahraga dulu?” ia menatap mataku sendu. “Nanti saja,” kataku menolak. Ia mengalah dan segera menuntuku masuk ke dalam rumah. Napasku tersengal-sengal setelah melangkah cukup banyak. Ia mengambilkan minum.
“Hari ini, terapisnya akan datang. Sudah janjian,” katanya lembut sekali. Aku diam saja. “Namanya Pak Hendro. Dia dulu terapis di rumah sakit. Sepertinya Mama kenal.”
“Hendro?” Aku mengingat-ingat. Tapi tak ada petunjuk. Otakku tak kunjung merespon dan menemukan memori tentang Pak Hendro.
“Tidak usah diingat-ingat, toh nanti kan ketemu. Tapi kata beliau, dia kenal Mama, makanya dia bersedia datang pagi ini,” tuturnya menjelaskan. Aku mengiyakan saja. Tak banyak komentar yang bisa kuberikan.
Selang beberapa jam kemudian, terapisnya datang. Ia tampak kaget melihat kondisiku. Awalnya, ia tak banyak berkata-kata. Bahkan, aku merasa ia sangat berhati-hati memberi komentar dan nasihat. Aku sangat mengerti maksudnya. Ia tak ingin melukai perasaanku. Rasa canggung itu kemudian mulai mencair. Ia bercerita tentang beberapa pasien yang pernah ditanganinya dengan kasus yang sama.
“Yang bisa menyembuhkan sebenarnya bukan saya, tapi Ibu sendiri. Semangat dari dalam itu jauh lebih kuat untuk menyembuhkan. Banyak berdoa, terus tersenyum, dan berani melawan penyakitnya dari dalam. Itu kuncinya ya bu,” katanya meyakinkan. Sedari tadi, ia banyak berkelakar. Aku cukup terhibur. Pengalaman dan kisahnya memberi harapan bagiku.
Selang dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk menyerah. Semua kunjungan teman-teman lama, keluarga dan sahabat, kini kutolak. Kunjungan terapis juga sudah lama kuhentikan. Aku tak ingin menemui mereka lagi. Aku merasa kehadiran mereka hanya menghadirkan harapan semu, sementara Tuhan tidak kunjung menjawab doaku. Aku ingin berjalan lagi, menyibukkan diri di rumah seperti biasanya. Tapi kini, saya hanya seonggok daging yang masih menyisakan napas. Jiwaku hanya menumpang di raga yang sudah lemah ini. Penyakit stroke ini telah merenggut semua yang kuinginkan. Perjuangan selama dua tahun hanya memberi sedikit harapan. Ah, susah payah aku berusaha, berjuang melawan kebekuan tubuh ini. Tapi, kesabaranku sudah mulai sirna.
“Obatnya kok tak diminum lagi, Ma?” ia bertanya heran setelah melihat tumpukan obat yang tergeletak di balik bantal. Aku hanya diam. Akhir-akhir ini aku tak banyak bicara. Aku benci dengan hidupku sekarang. Aku tak berguna, hanya menjadi beban bagi keluargaku. Aku tak mau lagi berdoa. Biar, biar. Biar saja Tuhan tahu. Aku sudah bosan hidup begini.
Setengah tahun ini aku hanya mengendap di ruangan ini. Hanya berteman suamiku saja dan televisi yang menggerung setiap pagi. Sesekali aku melangkah kaku ke teras rumah. Napasku selalu saja tersengal-sengal. Taka da kekuatan yang tersisa. Di sana, aku selalu menunggu, berharap suatu saat cucuku berlari mendapatiku dan anak-anakku pulang ke rumah. Ah, mungkinkah itu terjadi? Aku pun tak sanggup meminta itu kepada mereka. Rindu ini biarlah kusimpan sendiri. Aku tak mau menyusahkan mereka, apalagi melihat aku dalam keadaan begini. Pulang? Biarlah kunanti mereka di sini hingga napas ini beranjak pergi.




Jika Waktu adalah Kawan
                                                                                                                           Teruntuk Aji dan Dony
Oleh BPS

Tak terasa, waktu kian menikung arah
Menambah rasa gelisah
Kian kemari tak mengenal lelah
Dan usia makin buatku resah

Usiaku kini menghadang
Kiblat senja kini menjelang
Kulihat jejak masa lalu yang kusayang
Enggan melangkah menyusuri bayang

Seandainya waktu bisa kumiliki
Kan kuminta ia tuk berhenti sejenak di sini
Mengemas kenangan yang masih tersisa
Tentang aku dan kau di suatu senja

Seandainya waktu adalah kawan
Kan kuajak ia bertandang pada taman
Tempat kita menulis kenangan
Yang kini tinggal harapan

Tapi, hidup bukan sekedar tuk berkabung
Apalagi membuat sang waktu bertudung
Cukuplah sedih hanya berkerubung perpisahan
Sementara hidup harus penuh dengan harapan




Kisah Selembar Babak
Oleh BPS

Ratusan dua puluh empat jam telah berlalu tanpa cerita lagi
Kisah itu terhenti di tanggal 30 Oktober 2016
Hanya 3 tahun saja
Kisah cinta itu pupus dan kandas ditelan malam
Terenggut tanpa bahasa yang bisa kupahami
Hanya mata yang nanar menahan tanya: mengapa?

Kau terkapar dalam bisu
Terbujur kaku tak berdaya
Tak sanggup lagi tebar senyum
Tak sanggup lagi menatap mereka yang datang mengerubung
Menebar tanya: ada apa gerangan?
Tak ada jawaban, cukup air matamu yang mengoyak itu tanya

Kisah itu hanya semu
Hadir untuk menikam kalbuku yang sepi
Hanya menambah luka yang kian parah
Kini aku tahu, cinta itu adalah luka
Luka yang siap meneteskan darah
Darah kepedihan yang mengalir tanpa henti

Kisah itu hanya selembar babak tanpa ujung
Yang terbingkai pada lembaran foto yang terpajang di ruang tamu
Yang terhenti pada bangsal rumah sakit
Yang sisakan luka dan airmata yang tiada henti mengalir
Meski tak tampak, tapi hati tetap meronta

Tuhan, ku tahu rencanamu indah pada waktunya
Meski tampak tak seelok pandangan mataku
Meski tampak tak seturut yang kukehendaki
Kucoba tuk menari mengikuti pusaran badai-Mu
Menikmati seluruh cinta yang masih tersisa
Meski sulit tuk kembali
Mengenang bahasa cinta yang terlanjur melekat
Dalam batin yang mengerang

Di ujung sana, sesal selalu hadir menggoda iman
Mengajak sukma untuk berkhinat
Tapi kutahu, imanku tak seharga mata uang
Imanku adalah batu karang yang tak terhempas ombak
Ku akan menari dalam badai cinta ini.




Ribuan Kali Mencinta
Oleh Belfin Paian Siahaan

Wahai kekasihku,
Bukan daku ingin berpaling
Atau beranjak pergi tanpa kabar
Bukan juga daku ingin berlari tanpa kembali
Sebab kutahu pintu itu akan selalu ada dan terbuka

Wahai kekasih,
Bukan daku ingin menyerah
Dari pertemuan yang terlanjur pisah
Tapi daku ingin bahagia dalam pasrah
Meski tak selalu bersama dalam serumah

Wahai kekasihku,
Cukup sudah hatiku bermuram durja
Dari keyakinan tuk membuatmu bahagia
Tapi ada daya, bukan kuasaku tuk menahan asa
Sebab ada kuasa yang menolakku memberi rasa

Kau tidak akan pernah tahu,
Betapa hati ini pilu dan tersiksa
Tiap kali aku mencinta,
Ribuan kali siksa mencerca
Tiap kali aku menaruh sayang,
Ribuan kali aku dirundung malang
Tiap kali aku percaya,
Ribuan kali itu niscaya,
Tiap kali aku bangkit yakin,
Semuanya jadi tak mungkin.

Wahai kekasihku,
Mungkin ku akan bahagia tanpa kembali
Kau kan bahagia meski tanpaku

Rindu Empat Musim
Oleh Belfin Paian Siahaan

Empat musim berlari perlahan
Selalu kau menunggu di muka pintu usai maghrib
Berharap ia datang memanggil, sayup sayup dari mulut gang itu
Empat musim berlalu…
Kau selalu simpan rindumu pada dinding rumah
Pada kasur tua yang sudah usang
Dan pada makanan yang selalu sisa
Menjadi basi dan terbuang
Tak ada hari raya selama empat musim itu.
Hanya tradisi yang kian pudar.
Sepi merundung
Dan malam itu terlewatkan tanpa tawa dan senyum

Dua musim yang lalu,
Bahasamu lembut meminta
“Pulangkah kau, Nak?”
Enggan hatimu memaksa. Kau tak ingin tampak memohon
Kau simpan rindumu di balik bahasamu
Enggan kau sampaikan niatmu tuk rindu bertemu

Empat musim sudah berlalu,
Asamu tak lagi sama seperti dulu
Kuasamu tak lagi kuat seperti dulu
Kau hanya seorang Bapa yang lemah mengalunkan nada-nada rindu
Kau simpan rindumu lagi pada doa yang teriring syahdu
Berharap Tuhan memberimu nafas tuk bersabar pada rindu
Satu musim lagi saja, Tuhan!
Izinkan aku menunggu di muka pintu
Tuk menunggu anakku pulang ke pelukanku.
Kepada Bidadariku, Ii
 Oleh Belfin Paian Siahaan

Tak ada jejak langkah yang mengantarku padamu
Wanita biasa yang menjelma menjadi bidadari
Dari pelupuk mataku, hingga ke ruang hatiku

Tak ada bahasa yang terdengar di telinga
Tuk kau tahu aku ada
Di sini
Menunggu dalam bisu
Berharap bahasa jantungku terdengar berdegup kencang
Saat kupeluk erat tubuhmu dengan kedua tanganku

Tak ada senyum yang terkulum
Dari bibir yang menahan rasa
Hanya hati yang tersipu malu
Menahan gejolak cinta yang bergemuruh

Peringaimu, bahasamu, senyumanmu
Bak meteor yang meluluhlantahkan jiwaku
Kau terus menggempurku tanpa kau sadari