Pulang
Kisah di tahun kenangan
Oleh Belfin Paian Siahaan
Burung besi yang dinamakan pesawat itu meluncur dengan sempurna di landasan bandara. Mulus. Tepat waktu. Seperti yang sudah kuduga. Akhirnya aku kembali lagi ke kota ini, Jakarta. Ya, kota pelarianku selama kurang lebih 50 tahun. Tempat penantian yang sempurna yang tak pernah kutemukan dari kota-kota lain. Kuinjakkan kaki di lantai dingin bandara sesaat sebelum kuputuskan untuk naik taksi ke rumah. Aroma kenikmatan dan jejak-jejak pelarianku sekelebat muncul dalam pikiran. Mataku mulai basah.
“Sudah sampai, on time.” Begitu SMS yang kukirimkan pada anakku yang berada di kota lain. Tak begitu banyak bahasa yang kugunakan akhir-akhir ini. Sudah lebih dari setahun aku membungkam. Bukan karena aku tidak mau, tapi apa daya, tubuh ini enggan untuk menjadi lebih kuat dari yang kuinginkan.
Taksi membawaku kembali ke rumah. Pintu rumah kubuka. Aroma nostalgia selama 50 tahun itu kembali berpendar. Inilah tempat persembunyianku. Rumah yang membawaku pada kebahagiaan yang selama ini sulit kudapatkan. Seluruh peluh dan asaku kusimpan di rumah ini. Aroma wangi rumah ini yang membuatku nyaman. Tentu, kau tidak akan pernah tahu rasanya.
“Sudah sampai di rumah, Ma?” sebuah SMS mendarat di telepon genggamku saat aku membukanya. Tak ada niat untuk membalas. Lama. Akhirnya suamiku yang mengabari bahwa kami sudah tiba di rumah.
Kurebahkan tubuhku di kasur lusuh yang setia menemaniku setahun belakangan ini. Kuusap sprei yang menebarkan aroma debu yang melekat lama dalam kasur. Bersamaan dengan aroma itu, kudapati aroma tubuhku yang masih melekat dalam selimut dan bantal. Aku merasa masih hidup. Lega. Kuputuskan untuk tidur dan melupakan peristiwa beberapa hari yang lalu.
Beberapa jam kemudian aku terbangun. Lampu temaram di kamar ini sedikit membuatku rabun. Mata tua ini makin lama tidak begitu membantu. Aku tidak mau menggunakan kaca mata. Tak segala hal selalu bergantung pada benda lain. Itulah salah satu bahan pertengkaran antara aku, suamiku, dan anak-anakku. Katanya, aku keras kepala dan tidak sadar kalau sudah uzur. Aku tidak peduli. Tubuh ini harus ditaklukkan dengan sendirinya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suamiku terbaring di kasur lain tak jauh dari ranjangku. TV masih menyala. Rupanya ia tertidur. Tidurnya pulas sampai mendengkur. Kucoba untuk bangun dan duduk di tepi ranjang. Lagi-lagi, kusisir pandanganku ke seluruh isi ruangan. Rumah ini menyimpan banyak kenangan. Kini tinggal kami berdua. Sepi. Rumah ini kembali sepi, seperti di awal-awal pernikahan kami yang tak kunjung dikarunia anak selama empat tahun. Hanya seringai suaraku yang membuat rumah ini ramai. Aku terlalu sering memarahi dan menyalahkan dia. Setelah itu, kami diam dalam bisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Suamiku? Ah, aku merasa kasihan padanya. Perbuatanku padanya tak pantas dilakukan. Aku terlalu jahat padanya. Kupandangi wajahnya yang sudah keriput. Ubannya hampir menyisir seluruh rambutnya. Aku makin sadar, kami sudah tua.
“Kita harus sabar.” Ia selalu mengatakan itu. Aku terkadang geli dengan kesabarannya yang sudah di luar batas. Seumur hidupku bersama dengan dia, tak sekalipun ia marah. Itu yang seringkali membuatku menangis. Rumah ini telah menjadi saksi kekejamanku kepadanya.
“Tak segala hal biasa diatasi dengan emosi dan amarah. Justru itu yang akan membuatku kita tidak bahagia. Sabar, sabar, dan sabar. Itu kuncinya”. Mungkin sudah ribuan kali ia mengatakannya kepadaku, kepada anak-anakku, bahkan kepada keluargaku. Hingga kini, aku baru memahaminya. Mungkin karena itu pula yang membuat aku gagal dalam setahun belakangan ini.
Masih kupandangi wajahnya yang terlelap dalam tidur. Kutemukan penyesalan yang sangat mendalam. Tanpa kusadari, air mataku telah leleh dan meluncur dari kedua sudut mataku. Suamiku yang setia ini masih terus berkorban untuk aku dan anak-anakku. Ia tak mengenal lelah, meski usianya jauh lebih tua dari aku. Bahkan, setahun ini ia memutuskan untuk tak melanjutkan kontrak pekerjaannya lagi, hanya untuk aku, mengurus diriku yang makin tak berdaya. Tubuh rentanya seolah tak bergeming di hadapanku. Tubuh itu makin kurus dan mengecil. Dulu, ia gagah perkasa. Menjadi Ayah yang setia di rumah. Meski seringkali tak sependapat dengannya, ia tak pernah mau ribut. Ia selalu mengalah, lagi-lagi demi aku dan anak-anak. Tapi kini baru kumengerti mengapa ia melakukannya. Ketika memikirkan semua itu, dadaku makin terasa sesak. Ingin rasanya berteriak. Tapi itu tidak mungkin. Biarlah semua kusimpan sendiri. Aku tak ingin menyusahkan orang lagi.
***
“Prang!” terdengar suara mengaduh. Aku terhenyak dari mimpiku. Rupanya, suara piring pecah terdengar dari ruang dapur. Mataku terbelalak, namun tubuhku tak mau merespon. Hanya mata ini yang bisa kuandalkan. Baru aku sadar kalau itu bukan yang pertama kalinya. Aku mencoba menahan diri. Itu pasti suamiku. Bukan dia namanya kalau tak bikin suara gaduh di dapur. Aku kini memakluminya. Tak mungkin lagi aku memarahinya, seperti dulu. Aku memanggilnya. Suaraku terdengar lirih. Ia menyahut. Tak lama kemudian ia muncul. Dengan senyum sumringah, ia mendekatiku.
“Sudah bangun? Aku sengaja tak membangunkanmu. Tidurmu nyenyak sekali,” katanya sambil duduk di tepi ranjang. Ia memegang tangan kananku. Aku tak merasakan apa-apa. “Saya baru saja masak sop brokoli,” wajahnya tampak riang sekali. “Aku siapkan dulu ya!” ia buru-buru ke dapur. Aku masih belum sanggup bangun. Rasanya tubuhku tak berdaya.
Dengan semangkuk sup yang masih hangat, ia membantuku bangun dari kasur. Ia siapkan air minum dan lap tangan. Semuanya sudah tersedia di meja makan. Meja makan ini biasanya aku yang menyiapkan dan menatanya. Kini, susunannya sedikit berubah. Ah, tidak apa-apa. Aku harus merelakan. Meski tak serapi dulu, itu sudah bagus.
“Enak, Ma?” tanyanya sambil menunggu. Aku menyeruput kuah supnya. Hmm…rasanya enak. Mungkin karena aku lapar. Aku mengangguk. Ia tampak senang. Ia menyuapiku lagi, dan lagi, hingga semangkuk sup ludes. Ia tampak lega. Segera dibereskannya semua yang terpakai di meja makan. Aku melarangnya”.
“Biarkan dulu,” kataku. “Papa makan dulu,” aku merasa kasihan padanya. Ia mengangguk dan buru-buru ke dapur. Di sampingku, ia makan sup yang sama. Ia tak menyadarinya kalau aku mengamatinya. Perasaan ini masih sama. Ia memang suami yang baik. Ia tak pernah meninggalkan aku meski aku tak berdaya lagi.
Sehabis mandi, ia menuntunku ke teras depan rumah. Sungguh aku sebenarnya tak mau. Tapi, ia bersikeras untuk mengajakku menikmati pemandangan pagi itu. Ah, pemandangan apa rupanya? Jakarta hanya menyuguhkan pemandangan yang membosankan dan membuat stress. Akhirnya aku mengalah. Di sana, kami menyaksikan pemandangan pagi yang bising. Jalanan ramai dan kendaraan banyak berlalu lalang. Aku tak menyukainya. Polusi dan debu beterbangan. Untung pagar rumah tinggi. Suamiku membacakan berita pagi itu. Disibakkannya lembaran koran di tangannya dan menunjukkannya kepadaku. Ah, mata ini mulai tak bisa diajak kompromi. Judul berita utama saja sudah tak bisa terbaca. Aku jengkel dengan diriku sendiri. Tak banyak yang bisa kulakukan. Suamiku bak pendongeng saja. Ia membacakan beberapa berita yang menurutnya menarik, padahal bagiku tidak begitu. Meski sudah hidup bertahun-tahun, ia tak mengerti juga kegemaranku. Ah, laki-laki memang sulit untuk perhatian. Tapi tidak apa-apa. Aku harus belajar bersabar seperti kata-katanya.
“Pa, kita ke dalam aja ya,” aku merasa bosan. Suasana Jakarta pagi itu tak membuatku nyaman. Aku hanya ingin merebahkan diri saja di kasur.
“Tak olahraga dulu?” ia menatap mataku sendu. “Nanti saja,” kataku menolak. Ia mengalah dan segera menuntuku masuk ke dalam rumah. Napasku tersengal-sengal setelah melangkah cukup banyak. Ia mengambilkan minum.
“Hari ini, terapisnya akan datang. Sudah janjian,” katanya lembut sekali. Aku diam saja. “Namanya Pak Hendro. Dia dulu terapis di rumah sakit. Sepertinya Mama kenal.”
“Hendro?” Aku mengingat-ingat. Tapi tak ada petunjuk. Otakku tak kunjung merespon dan menemukan memori tentang Pak Hendro.
“Tidak usah diingat-ingat, toh nanti kan ketemu. Tapi kata beliau, dia kenal Mama, makanya dia bersedia datang pagi ini,” tuturnya menjelaskan. Aku mengiyakan saja. Tak banyak komentar yang bisa kuberikan.
Selang beberapa jam kemudian, terapisnya datang. Ia tampak kaget melihat kondisiku. Awalnya, ia tak banyak berkata-kata. Bahkan, aku merasa ia sangat berhati-hati memberi komentar dan nasihat. Aku sangat mengerti maksudnya. Ia tak ingin melukai perasaanku. Rasa canggung itu kemudian mulai mencair. Ia bercerita tentang beberapa pasien yang pernah ditanganinya dengan kasus yang sama.
“Yang bisa menyembuhkan sebenarnya bukan saya, tapi Ibu sendiri. Semangat dari dalam itu jauh lebih kuat untuk menyembuhkan. Banyak berdoa, terus tersenyum, dan berani melawan penyakitnya dari dalam. Itu kuncinya ya bu,” katanya meyakinkan. Sedari tadi, ia banyak berkelakar. Aku cukup terhibur. Pengalaman dan kisahnya memberi harapan bagiku.
Selang dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk menyerah. Semua kunjungan teman-teman lama, keluarga dan sahabat, kini kutolak. Kunjungan terapis juga sudah lama kuhentikan. Aku tak ingin menemui mereka lagi. Aku merasa kehadiran mereka hanya menghadirkan harapan semu, sementara Tuhan tidak kunjung menjawab doaku. Aku ingin berjalan lagi, menyibukkan diri di rumah seperti biasanya. Tapi kini, saya hanya seonggok daging yang masih menyisakan napas. Jiwaku hanya menumpang di raga yang sudah lemah ini. Penyakit stroke ini telah merenggut semua yang kuinginkan. Perjuangan selama dua tahun hanya memberi sedikit harapan. Ah, susah payah aku berusaha, berjuang melawan kebekuan tubuh ini. Tapi, kesabaranku sudah mulai sirna.
“Obatnya kok tak diminum lagi, Ma?” ia bertanya heran setelah melihat tumpukan obat yang tergeletak di balik bantal. Aku hanya diam. Akhir-akhir ini aku tak banyak bicara. Aku benci dengan hidupku sekarang. Aku tak berguna, hanya menjadi beban bagi keluargaku. Aku tak mau lagi berdoa. Biar, biar. Biar saja Tuhan tahu. Aku sudah bosan hidup begini.
Setengah tahun ini aku hanya mengendap di ruangan ini. Hanya berteman suamiku saja dan televisi yang menggerung setiap pagi. Sesekali aku melangkah kaku ke teras rumah. Napasku selalu saja tersengal-sengal. Taka da kekuatan yang tersisa. Di sana, aku selalu menunggu, berharap suatu saat cucuku berlari mendapatiku dan anak-anakku pulang ke rumah. Ah, mungkinkah itu terjadi? Aku pun tak sanggup meminta itu kepada mereka. Rindu ini biarlah kusimpan sendiri. Aku tak mau menyusahkan mereka, apalagi melihat aku dalam keadaan begini. Pulang? Biarlah kunanti mereka di sini hingga napas ini beranjak pergi.